Oleh: Sahyul Pahmi (Kolomnis | Anggota Sekertaris MPW ICMI Muda Sulawesi Selatan | Dosen STAI Al-Furqan Makassar | Santri)
....
Ketika harga kebutuhan manusia melonjak, yang justru turun adalah kualitas berpikir. Media sosial menawarkan panggung, tapi yang ditampilkan hanyalah teater glamor tanpa naskah. Apa kabar anak cucu kita kelak?
Kita hidup di zaman yang membingungkan, tapi sayangnya membingungkan yang sudah mulai diterima sebagai hal biasa. Ketika harga telur naik, kita pusing. Tapi ketika standar hidup dipatok oleh algoritma Instagram, kita diam saja. Barangkali memang benar kata Yuval Noah Harari dalam "Homo Deus" (2016), manusia modern telah menjadi makhluk yang lebih sibuk mengejar kenyamanan instan daripada memahami hidupnya sendiri.
Sistem ekonomi global yang kita warisi hari ini bukan sekadar rumit, tapi juga menyulitkan. Kita membeli pakaian dengan harga yang ditentukan bukan oleh bahan atau tenaga kerja, melainkan oleh siapa yang memakainya duluan di TikTok. Biaya kebutuhan manusia meningkat bukan karena manusia makin berakal, tapi karena gaya hidup makin “diverifikasi”.
Verifikasi? Ya, centang biru itu. Bukan hanya untuk tokoh publik atau selebritas. Kini, ibu rumah tangga di desa pun merasa perlu tampil seperti artis, sebab semua orang ingin lolos dari penghakiman diam-diam bernama “engagement rendah FB Pro”.
Namun, yang lebih menyedihkan dari kenaikan harga cabai dan sewa kontrakan adalah naiknya harga gengsi. Dan gengsi adalah komoditas yang tak dijual di pasar, tapi bisa bikin kita berutang di lima aplikasi pinjaman berbeda.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menjelaskan bahwa salah satu penyakit hati yang paling sulit diobati adalah hubb al-jah — cinta pada kemuliaan atau kedudukan sosial. Penyakit ini menyusup diam-diam, kadang dengan nama "branding", kadang "portofolio". Ia menjalar dari mahasiswa yang ingin terlihat keren, hingga dosen yang mendamba undangan konferensi internasional semata demi validasi akademik, bukan ilmu.
Kita tidak sedang bicara soal rakyat kecil saja. Justru kaum terpelajarlah yang makin terdorong untuk hidup glamor, meski dalam diam. Para akademisi hari ini tak hanya harus menulis dan meneliti, tapi juga "posting" hasilnya. “Sudah publish di Q1, belum?” kata seorang dosen pada rekannya, sambil mengintip jumlah "likes" di feed Facebook atau LinkedIn-nya. Pengetahuan bukan lagi soal hikmah, tapi soal impresi.
Kita perlahan, tapi pasti, mengganti orientasi hidup:
dari makna ke kemasan, dari nilai ke narasi. Imam Ibn Qayyim al-Jawziyyah dalam "al-Fawaid" menulis, “Jika engkau sibuk dengan pujian manusia, maka engkau akan lupa pada pandangan Tuhan.” Sayangnya, kini yang lebih penting bukan siapa yang melihat kita, tapi berapa banyak yang melihat kita.
Di tengah absurditas ini, sistem ekonomi malah makin jauh dari kata “manusiawi”. Kapitalisme digital, tulis Shoshana Zuboff dalam "The Age of Surveillance Capitalism" (2019), menjadikan data pribadi sebagai komoditas baru. Maka tak heran, kebutuhan dasar manusia kini bukan lagi pangan, sandang, dan papan, melainkan sinyal, konten, dan kuota.
Anak-anak remaja lebih hafal harga iPhone terbaru daripada harga beras. Orang tua lebih cepat buka Shopee ketimbang buka PR Anaknya yang terlambat dikerjakan. Padahal Imam Nawawi dalam "Riyadhus Shalihin" menegaskan pentingnya "zuhud" — tidak terpukau pada dunia yang fana. Tapi bagaimana bisa "zuhud", jika setiap hari kita disuruh membandingkan hidup kita dengan orang lain di media sosial?
Dan kini, bukan cuma orang tua yang pusing dengan biaya pendidikan anak. Para pemuda pun ikut pusing, karena biaya hidup untuk sekadar terlihat “layak” semakin tidak masuk akal. Seorang teman mengeluh, “Bayar kos Rp1,5 juta per bulan, padahal lebih sering tidur di coworking space.” Bukan karena malas pulang, tapi karena di sana ada WiFi dan colokan, dan suasana yang aesthetic untuk konten.
Apa jadinya hidup anak cucu kita kelak? Jika hari ini kita saja sudah tidak paham mengapa harus bekerja selain untuk membayar biaya hidup yang terus melonjak, bagaimana generasi setelah kita bisa membayangkan hidup yang bermakna?
Yuval Harari menyindir bahwa generasi masa depan mungkin akan hidup lebih lama, lebih sehat, tapi lebih kosong. Mereka tidak kelaparan, tapi kehilangan arah. Mereka tidak miskin, tapi menderita karena membandingkan terus-menerus.
Dalam "Futurability" (2017), Franco "Bifo" Berardi menuliskan bahwa masyarakat modern kehilangan kemampuan bermimpi karena semua hal harus cepat, instan, dan dapat dikonversi menjadi “nilai tukar”. Impian seorang anak kini bukan menjadi guru atau ulama, tapi menjadi konten kreator dengan 100.000 subscriber.
Apa yang salah?
Barangkali bukan sistem ekonomi saja. Tapi juga sistem nilai. Kita diajarkan bahwa yang penting adalah hasil, bukan proses. Bahwa pencapaian lebih utama daripada pembelajaran. Bahwa viral lebih penting daripada berguna.
Kita lupa bahwa Imam al-Khatib al-Baghdadi dalam "Iqtidha’ al-Ilm al-‘Amal" menulis bahwa ilmu tanpa amal adalah bencana, dan amal tanpa ilmu adalah kesesatan. Hari ini, kita justru menghadapi dua-duanya sekaligus.
Ilmu hanya jadi pajangan di bio Instagram, dan amal hanya dipertontonkan di konten TikTok. Tidak ada lagi ruang sunyi, sebab semua ingin disaksikan. Kita sedang kehilangan ruang batin untuk bertumbuh, sebab dunia makin memaksa kita untuk tampil, bukan menjadi.
Namun tidak semua jalan menuju masa depan harus dibangun lewat kecepatan. Beberapa butuh ketekunan. Di titik inilah, "empat pilar ICMI Muda" bisa menjadi ikhtiar jangka panjang untuk memulihkan akal sehat kita sebagai bangsa.
Keempat pilar tersebut: "Intelektualitas, Integritas, Profesionalitas, dan Spiritualitas", adalah jawaban sunyi di tengah dunia yang gaduh. Di saat media sosial menuntut semua serba instan, ICMI Muda menawarkan jalan sunyi yang pelan tapi konsisten—sebuah pendekatan yang lebih memuliakan proses daripada sekadar hasil.
~ Intelektualitas, bukan sekadar kemampuan akademik, tapi keberanian berpikir jernih di tengah kabut algoritma.
~ Integritas, bukan sekadar anti-korupsi, tapi tahan terhadap godaan tampil palsu demi validasi sesaat.
~ Profesionalitas, bukan hanya soal kinerja kerja, tapi keberanian untuk *tidak* jadi komoditas.
~ Spiritualitas, bukan sebatas ritual, tapi kesadaran bahwa hidup tak bisa direduksi menjadi konten yang bisa disukai.
Kalaupun gerak ICMI Muda belum seramai ormas lain, mungkin karena ia menanam akar lebih dulu sebelum memetik buah. Dan itu adalah jalan panjang yang mahal, tapi layak. Karena sebagaimana yang tertulis dalam kitab "Ta’lim al-Muta’allim", “Ilmu tidak akan memberi separuhnya sebelum kau memberinya seluruh hidupmu.”
Mungkin memang benar dunia sedang bergerak aneh. Tapi satu hal yang tak boleh kita tinggalkan: waras, dan berusaha untuk tetap waras. Sebab dalam dunia yang makin gila, menjadi waras adalah bentuk perlawanan paling spiritual.
Dan bila semua ini masih terasa terlalu berat, izinkan saya menutup dengan sepenggal kutipan dari novel "Persiapan" (2023):
“Hidup bukan tentang siapa yang paling cepat naik ke panggung, tapi siapa yang diam-diam menyiapkan panggung berikutnya.”
Mariki' ngopi kembali. Salama'.
~~~
Makassar. 14 Juli 2025.
Referensi:
1. Harari, Yuval Noah. "Homo Deus: A Brief History of Tomorrow". Vintage, 2016.
2. Zuboff, Shoshana. "The Age of Surveillance Capitalism". PublicAffairs, 2019.
3. Berardi, Franco. "Futurability: The Age of Impotence and the Horizon of Possibility". Verso Books, 2017.
4. Al-Ghazali. "Ihya’ Ulumuddin", Beirut: Dar al-Fikr.
5. Ibn Qayyim al-Jawziyyah. "Al-Fawaid".
6. Imam Nawawi. "Riyadhus Shalihin".
7. Al-Khatib al-Baghdadi. "Iqtidha’ al-‘Ilm al-‘Amal".
8. Ibn ‘Ashur. "Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyyah".
9. Az-Zarnuji. "Ta’lim al-Muta’allim".
10. Novel "Persiapan", 2023.

0 Komentar